Rabu, 09 Juli 2014

Masjid Agung Sang Ciptarasa Keraton Kasepuhan Cirebon


Di sebelah barat Alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon terdapat masjid yang sangat bersejarah, khususnya sejarah Islam Tatar Sunda yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun Wali Sanga beserta orang-orang Cirebon dan Demak. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak pada 1080 33’ BT dan 060 43’ LS. Secara administratif berada di Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Nama Sang Cipta Rasa diambil dari kata “Sang” yang artinya keagungan, “Cipta” yang artinya dibangun dan “Rasa” yang artinya digunakan.

Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari mencatat Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun oleh orang Cirebon dan Demak secara gotong royong sebanyak 500 orang, dipimpin Wali Sanga. Pengerjaannya diawasi Sunan Kalijaga dan arsiteknya dari Demak bernama Raden Sepat.

Menurut Naskah Kuningan, pupuh 20:08-20:11 (Amman,2007:92): Setelah tanah Sunda menjadi mu’min semua lalu dibangun mushala, Masjid Agung di Carbon. Para wali diundang, dan kesembilannya sudah hadir yaitu Sunan Bonang, Pangeran Majagung, Sunan Gunung Jati sebagai tuan rumah, Sunan Kalijaga, Syekh Benthong, Syekh Maulana Magrib, Syekh Lemah Abang, Sunan Giri dan Sunan Kudus. Semua sepakat untuk melaksanakan pembangunan Masjid Agung di Carbon.

Tiga buah amal sudah diselesaikan, pertama membangun Negara yaitu negaranya orang saleh, kedua membangun Sabilullah yakni memerangi orang kufur dan menjadikannya beragama Islam dengan seizin Allah, serta ketiga membangun Masjid tempat orang shalat untuk seterusnya.

Mengenai proses pembangunan Masjid Agung Pakungwati sebagai Masjid Kerajaan Islam Cirebon lebih lanjut tertulis dalam Naskah Mertasinga (pupuh 22:37-22:47; 28:13-28:21, Amman,2005:68-69) :Setelah penobatan ini Sinuhun Gunung Jati berkehendak untuk membangun Masjid Agung Pakungwati yang kelak akan menjadi pusaka di Carbon. Uwaknya diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan membangun masjid itu. Dari seluruh pelosok negeri telah dikumpulkan kayu yang baik untuk dipakai sebagai tiang. Sunan Rangga sudah mengerti akan keinginan putranya itu. Dengan segera sudah terkumpul kayu-kayu yang diperlukan.Tukangnya berjumlah seratus orang, sebanyak bahan yang ada, atap sirap sudah dipilih, paku dan batu bata sudah terkumpul di Pakungwati.

Kemudian Sinuhun Jati berkata kepada Syekh Datuk Khapi, ”Kakanda Datuk Khapi tolong tuliskan surat untuk dikirimkan ke negara Banisrail. Sampaikan kepada adinda Nurullah agar mengupayakan kayu jati. Mintalah yang utama , yang panjang untuk dijadikan sakagurunya. Hanya empat buah saja yang dibutuhkan, satu tiang saka dari Mesir sebagai sumbangannya Babu Dampul, satu dari Banisrail sebagai sumbangannya adinda Nurullah, satu lagi dari Bagdad sebagai sumbangan dari Datuk Khapi dan satu lagi dari Surandil sumbangan dari Syekh Benthong. Segera Datuk Khapi menulis surat tersebut dan mengirimkannya. Sementara itu, yang membangun terus bekerja sambil menunggu datangnya kiriman ke empat kayu sakaguru dari negara Arab.

Kiblat
Setibanya Sinuhun Jati di Dalem Agung, beliau berkehendak untuk segera mendirikan masjid yang patakannya sudah didirikan. Semua wali sangat bersemangat dalam membantu pembangunan masjid ini. Mereka telah mendirikan rangkanya bersama-sama. Ketika keesokan harinya terjadi perselisihan lagi mengenai arah Kiblat. Sebagian mengatakan kurang ke selatan, lainnya menyebut kurang ke utara dan ada pula yang menyampaikan tepat arah. Kerangka masjid itu diangkat dipindah-pindah berubah arah setiap kali terdengar pendapat baru.

Demikian berlangsung tak habis-habisnya. Sunan Kalijaga kembali memberikan penyelesaiannya seperti yang dilakukannya waktu di Demak. Setelah selesai pembangunan Masjid Agung Carbon, semua wali memanjatkan puji syukur dan melakukan Salat Subuh.

Setelah salat, Sunan Kalijaga membuat sasmita/isyaratnya masjid ini. Sang gligir manik pethak, putra jagat bawur, bawuring wong timbul tatal, timbul aning ngaliwung awang nguwung, sageb ana waniya. Sarta takutana dadi sarta wani, sampurnaneng jagat sadaya, sangang ngatus ya kathahe, punjule patang puluh, kalawan lelima puniki.

Adzan Pitu
Menurut informasi dari beberapa buku Babad Cirebon dan cerita tutur tradisi, Adzan Tujuh atau dikenal dengan sebutan Adzan Pitu berawal sejak masa awal perkembangan Islam di Cirebon. Konon, di Masjid Agung Sang Cipta Rasa dahulu ada musibah yang menyebabkan tiga orang muadzin tewas berturut-turut secara misterius.

Ketika masjid ini didirikan, memang masyarakat Cirebon sebagian besar belum memeluk agama Islam. Mereka menolak pembangunan masjid ini. Penolakan itu diwujudkan melalui kekuatan sihir yang dilancarkan Menjangan Wulung dan menyebabkan kematian misterius tiga muadzin masjid tersebut. Banyak warga yang resah karena masalah ini.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, Sunan Kalijaga mendapat petunjuk untuk segera mengumandangkan adzan yang diserukan oleh tujuh orang muadzin sebelum salat. Pada saat akan melaksanakan Salat Subuh, adzan pitu (adzan dengan tujuh orang) dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, dentuman besar terdengar dari Memolo masjid. Seketika binasalah kekuatan gaib yang disebarkan oleh makhluk halus bernama

Menjangan Wulung.
Menurut cerita, karena ledakan dahsyat tersebut, cungkup masjid terlempar ke Banten. Itu sebabnya mengapa hingga saat ini, Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak mempunyai momolo sedangkan Masjid Agung Banten memiliki dua momolo. Sampai sekarang tradisi adzan pitu masih dilaksanakan. Bila dahulu adzan pitu dikumandangkan ketika Salat Subuh, saat ini adzan pitu dikumandangkan pada Salat Jumat, oleh tujuh orang dengan berpakaian serba putih.

Sumber tradisi lainnya menceritakan Mesjid Agung Cirebon tidak memakai momolo, disebabkan suatu kejadian sebagai berikut : Pada masa pemerintahan raja Panembahan Ratu, penyakit melanda Cirebon. Untuk membasmi wabah tersebut Panembahan Ratu melepaskan tongkat wasiatnya yang melayang–layang sampai menyambar momolo, hingga momolo itu putus.

Sejak itu Sunan Kalijaga berpesan kepada Panembahan Ratu agar untuk Masjid Agung tidak usah lagi dibuatkan momolo, melainkan diubah saja bentuk atapnya menjadi limas sebagai tanda bahwa manusia tidak ada yang unggul. Dalam Babad Cirebon disebutkan di Jawa sengaja tidak dibuat menara karena tradisi Jawa berbeda dengan Arab. Seorang Jawa yang menjadi muadzim tidak boleh duduk dan berdiri lebih tinggi dari raja yang duduk di bawah. Menurut tradisi Jawa, hal demikian bisa menyebabkan wialat. Nyeng kene, ning Jawa aja tiru – tiru adat Mekah nganggo munara, ari adat kene ning Jawa wong cilik beli kena nungkuli, mbok kena wialat.

Saka Tatal
Mengenai Saka Tatal yang terdapat pada salah satu Soko Guru (tiang utama) Masjid Pakungwati atau Masjid Agung Sang Ciptarasa dijelaskan oleh Pangeran Sulaeman Sulendraningrat (Nukilan Sejarah Tjirebon Asli, Sulendraningrat, 1972:37-38), sebagai berikut :

Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dan Masjid Agung Demak dibangun dalam waktu yang bersamaan oleh Wali Sanga. Pada tahap penyelesaian akhir Masjid Agung Sang Cipta Rasa ternyata tiang Sokoguru kurang satu. Untuk melengkapi kekurangan sokoguru, Sunan Kalijaga yang diberi tugas untuk menyelesaikannya. Sunan Kalijga Sidakep Sinuku Tunggal menghilangkan bagian-bagian yang empat perkara ialah pengambu, pengucap, pendeleng dan pengrungu alias manunggal jasmani dan sukamaninya melahirkan alam bawah sadar dengan nyata.

Beliau mengumpulkanTatal atau potongan-potongan kayu menjelma seketika itu juga tiang kaju jati yang bentuknya, halusnya dan lurusnya sama dengan tiang-tiang kayu jati lainnya yang sudah dipasang. Selanjutnya, tiang itu disebut orang dengan nama Saka Tatal hingga sekarang. Setelah Saka Tatal dipasang pada tempatnya, selesailah Masjid Agung Cirebon itu dan kemudian pada waktu Subuh dilakukan salat berjamaah dengan imamnya Sunan Gunung Jati. Demikianlah Informasi tentang Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terdapat dalam sumber Babad Cirebon dan cerita tradisi. Wallahu a’lam Bishawab. (KC)

0 komentar:

Posting Komentar

Breaking News
Loading...
Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 TRIO MACAN All Right Reserved